sumber : fineartamerica.com |
Dahulu kala hiduplah seorang pengembara yang tak bernama. Ia
mendatangi desa-desa satu demi satu, menyusuri curamnya lembah di tengah kabut,
maupun berjalan ditengah teriknya matahari gurun.
Pengembara tanpa nama ini tak terlalu dikenal
oleh masyarakat awam, yang tanpa mereka ketahui selalu berbuat baik di setiap
desa yang ia lalui. Sebut saja desa-desa yang kalian tahu, maka pasti, dalam
satu masa pada sejarahnya dimana sebuah persoalan pelik tiba-tiba terselesaikan
begitu saja. Rangkaian pencurian, banjir karena tanggul yang hancur, ataupun
jalan dan jembatan yang terputus, terselesaikan begitu saja.
Pengembara ini tidak dikenal namanya karena ia memang tak
ingin dikenal luas oleh masyarakat. Ia hidup bersama untaian daun yang berguguran
dan gemerisik angin yang sejuk. Ia seolah terlahir begitu saja, tanpa asal
muasal ataupun sebuah nama. Semua karena ia mengetahui bahwa suatu saat ia akan
pergi, maka tak perlulah sebuah nama baginya.
Sampai suatu saat tak jauh sebuah desa ia melepas penat. Ia
duduk disebuah akar pohon apel yang dahannya begitu menjulur hingga buahnya
dapat dipetik dengan sangat mudah. Ia mengambil tempat air dan hendak meminum
airnya, yang kemudian ia dapati tingal tersisa beberapa bulir air. Akhirnya si
pengembara memutuskan untuk singgah di desa yang berada di depannya.
Ketika ia melangkah masuk ke gerbang desa, ia menemukan desa
yang ia masuki sangat sepi. Terlalu sepi. Sepanjang ia memandang, tak terlihat
seorangpun lalu lalang. Toko-toko yang berjajar sepi, terlihat banyak bekas
losmen yang papan namanya mulai copot. Satu dua bar yang sudah tak bertuan
berada di sisi jalan. Dahulu pasti desa
ini ramai oleh pengunjung, benak si pengembara. akhirnya ia memutuskan
untuk masuk kedalam salah satu rumah, untuk mencari tahu apakah masih ada
penduduk atau sebuah tanda-tanda kehidupan.
Tak sampai 5 langkah, teerdengar sebuah teriak
“Hai orang asing! Angkat kakimu dari desa ini!”
“Pergilah orang asing, jangan bawa kutukmu pada kami!”
“Kami tak sudi menerima para pembawa kutukan ke tempat
kami!”
Pengembara itu teramat kaget mendengar teriakan-teriakan
tersebut, yang disusul oleh teriakan-teriakan lain. Mulai muncul
moncong-moncong senapan dari balik tembok, pintu maupun lubang-lubang yang
terlihat sengaja dibuat. Pengembara mencoba menenangkan dirinya, dan dengan
lantang berkata,
“ Hai manusia, sungguhpun aku tak membawa kekotoran
sedikitpun, selain debu yang kubawa dalam perjalanan yang ku tempuh. Sediakah
kalian memberiku sepotong cerita akan hal yang kalian takutkan? Atau biarlah angin
membawa pergi aku yang utuh bersama sepotong roti dan air untuk melepas dahaga”
Tak lama kemudian, muncul seorang yang telah
terbungkuk-bungkuk membawa sebuah mangkuk minuman. Di tangan yang lain
dipengangnya sekerat roti.
“Hai pengembara, sungguhpun kami tidak membawa kekotoran
sedikitpun, selain kekhawatiran yang menggantung di pelupuk mata. Terbilang 1
tahun yang lalu datang seorang pengembara sepertimu, meminta hal yang sama
sepertimu, bahkan mengatakan hal yang sama sepertimu, dan sayangnya kami idahkan.
Sang pengembara memberi sumpah bahwa negeri ini tak akan mendapat kedamaian
selamanya kecuali dikorbankannya satu jiwa diatas pelandu yang ia bawa.
Akhirnya sejak saat itu kami ditimpa penyakit aneh, yaitu kekhawatiran yang
teramat sangat hingga ternak tak lagi terurus dan dayur tak lagi tersiang.
Banyak dari kami mencoba datang ke pelandu yang ditinggalkan sang pengembara
namun tak mampu mendekati jua. Jikalau anda berkenan maukah anda mencoba
mendekati pelanduk terkutuk? Sekerat roti dan semangkuk air ini moga meluluhkan hatimu atas
keadaan kami”
“Sungguhpun anda hai saudara tua lebih membutuhkan hal
tersebut, biarlah saya menyendiri dahulu untuk mengambil keputusan atas masalah
pelik ini”
Malam pun datang, sang pengembara duduk diatas akar pohon
apel yang ia datangi pada saat siang yang lalu. Ia menatap bintang untuk
mencari kepastian. Ia berucap lirih:
“Sungguhpun obat daripada penyakit yang menimpa desa ini
adalah nurani yang bersih”
Akhirnya ia beranjak pergi, meniggalkan tempat tersebut.
Pada saat yang bersamaan, para tetua desa bermaksud
menyiapkan sebuah tipu muslihat. Mereka sengit mengadukan pendapat-pendapat
mereka yang brilian. Sampai salah seorang tetua yang paling muda berkata,
“Kita
siapkan pembakaran di tengah kota, kita penggal kepalanya dan bakar jadi abu. Abu pemuda
tersebut kita terbarkan diatas pelandu, sedang tengkorak yang tersisa kita
sampirkan di depan garda desa, supaya menjadi peringatan bagi tiap orang asing
yang hendak berlalu-lalang.”
Para tetua yang lain kagum akan ide tetua muda tersebut yang terkesan
brutal dan tak mengenal welas asih. Dendam mereka terhadap pengembara seolah
tersampaikan dengan ide hebat tersebut. Akhirnya mereka setuju dan pulang ke
rumah masing-masing dengan hati gembira.
Pagi menjelang, para tetua desa berkumpul, memastikan sang pengembara
datang dari kisi-kisi jendela. Namun yang di tunggu tak datang jua. Karena
merasa dipermainkan, akhirnya para tetua marah, para penduduk marah, bahkan para
tikus-tikus dan para kucing-kucig turut marah. Sejak awal mereka berniat
membunuh sang pemuda dengan mushlihat air dan makanan yang di beri racun, namun
si pengembara menolak. Mereka menyiapkan pembakaran namun sang pemuda tak jua
datang. Akhirnya mereka semua membawa obor, beriringan berniat memburu si
pengembara dan membakarnya hidup-hidup.
“Hai penduduk desa! Sesungguhnya si pengembara tadi adalah
salah satu dari para pembawa kutuk! Dengan gampangnya ia menghina kita dan
mepermainkan kita! Tidak ada yang pantas menggantikan penghinaan ini selain
dibakar hidup-hidup!” ,Teriak salah seorang dari kerumunan. Para pendudukpun
makin terpancing amarahnya, dan bersegera mengemasi barang mereka, membawa
obor-obor dan beriringan mencari si pengembara. Mata mereka takmenyiratkan
apapun selain dendam dan amarah yang memuncak.
aku berhenti sejenak. Manatap
wajah dari anak-anak kecil yang duduk-duduk di sekelilingku. Salah satu anak
bertanya “ Apakah mereka berhasil menemukan si pengembara?”
Aku tersenyum kecil,”Mereka tidak
pernah menemukan si pengembara, terlebih membakarnya hidup-hidup. Pelandu itu
tidak pernah ada, sayangku, namun cerita itu beredar semenjak beberapa orang
yang keluar desa tidak pernah kembali setelah diajak pergi oleh seorang asing.
Mereka tak pernah tahu longsor yang menimpa rombongan tersebut mencegah mereka
untuk kembali ke desa, dan memulai bisnis baru di desa sebrang. Para penduduk
yang hilang akal mengarang-ngarang cerita tentang kutukan sang pengembara.
Akhirnya para penduduk ketakutan dan tidak pernah keluar desa karena takut
bertemu orang asing. Ternak mereka mati kelapar sedang tetumbuhannya menjadi
gersang tak terawat. .”
Memang benar, pelandu itu sebenarnya tidak pernah ada,
maupun sang pengembara yang mereka ada-adakan. Kemarahan telah membuat mereka
berani keluar desa dan mulai menemukan jejak-jejak rombongan yang hilang.
Akhirnya mereka menemukan rombongan yang hilang beserta kehidupan rombongan
tersebut yang sudah berkecukupan. Mereka saling menerima, walaupun rombongan
yang hilang bingung melihat bekas longsoran tersebut sudah tidak ada lagi, dan
jalan sudah terbuka. Akhirnya desa mulai kembali terbuka dengan orang asing dan
kembali ramai.
Cerita sang pengembara mulai dilupakan, digantikan dengan
kisah-kisah keberanian rombongan yang hilang maupun keberuntungan yang membawa
penduduk desa menemukan mereka. Tapi tak pernah ada yang tahu, bagaimana mereka
bisa menemukan jalan menuju rombongan yang hilang ataupun melewati reruntuhan yang
seharusnya menghalangi mereka dalam perjalanan, ataupun perginya pelandu di
tengah kota yang mereka takutkan. Tak pernah
ada yang tahu, siapa yang berteriak di tengah kerumunan guna memancing amarah
ataupun menyebarkan cerita tentang kepahlawan rombongan yang hilang.
Aku tersenyum melihat lagit sore,
duduk di sebuah akar pohon apel yang 5 tahun lalu kududuki. Di sebelahku
tersampir sebuah pelandu tua. Aku berkemas pergi, menyisakan sedikit cahaya
yang bisa kubawa untuk desa ini.