Sabtu, 27 September 2014

Islam dan Pacaran



                Sudah kerap kita dengar tetang buruknya generasi muda saat ini. Mulai dari degredasi moral sampai pada taraf gaya hidup yang hedonis banyak dijadikan bahan tugasi tulis-menulis oleh para siswa. Padahalnya banyak sekali kelebihan-kelebihan dari generasi muda saat ini. Seperti dalam bidang olipiade, Indonesia masih sering medapatkan medali-medali dan penghargaan. Sebutlah IGEO, dimana salah seorang siswi MAN Insan Cendekia madapatkan medali perunggu atas nama Uyun Charisa Azisa. Atau lomba-lomba bertaraf internasional lainnya, dimana Indonesia masih dapat mengirimkan wakilnya. Masih banyak lagi kelebihan-kelebihan generasi muda yang tidak terekspos, atau bahkan terekspos namun kurang mendapat perhatian. Salah satunya adalah kreativitas para anak muda, terlebih dalam membuat kalimat-kalimat yang menggugah, seperti  sebagai berikut

“Truk aja punya gandengan, masa lu kagak.”

Atau yang lebih ilmiah sedikit

“Xylem aja  pasangan-pasangan sama floem, masa lu kagak punya pasangan.”

Memang sudah menjadi fenomena yang ‘dibiasakan’ dimana pacaran menjadi salah satu tolak ukur dalam kehidupan sosial pada umumnya. Banyak sekali alasan yang disampaikan, argumen yang diberikan. Namun jika kita lihat lebih dekat apakah pacaran itu baik?
                        Dalam Islam, kita mengenal adanya batasan-batasan antar lawan jenis. Seperti ghadul bashar.  Allah SWT telah berfirman pada surat An-Nur ayat 30 :
  
 قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
                
Apakah hanya laki-laki saja yang harus menjaga pandangan? Pada surat Ash-Shafat ayat 48 Allah pun turut berfirman :
وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ عِينٌ

Artinya : “Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya.”
                 
Disini kita dapat membuat kesimpulan, jika ingin menjadi laki-laki yang baik atau perempuan-perempuan bertaraf bidadari surga dengan standar Al-Qur’an, sudah saatnya mulai kita menjaga pandangan. Mengapa pandangan yang penting? Karena sesuai kata-kata yang sudah populer ‘Darimata turun ke hati’. Dari hati nantisaling jatuh hati. Kalau udah jatuh hati nanti malah main hati. Waduh, bahaya kan? Tetapi memang sudah menjadi fakta ketika suatu hubungan tidak disertai komitmen yang jelas pasti akan mudah untuk kandas  di tengah jalan.

Selain itu, secara logika pun pacaran amat merugikan para pemuda-pemudi yang sudah disibukkan kegiatan sehari-hari. Sebutlah Bang Joko, sudah lelah sehabis kerja part-time di salah satu pom bensin masih harus mengatar pacarnya ke salon terdekat. Atau Amat, sudah lama-lama dimarahi guru karena lupa mengerjakan PR masih harus juga didamprat pacarnya yang kecapekan nungguin dia di tempat ketemuan. Juga Susilawati, terlalu asik smsan dengan sang kekasih, hingga enggan membantu ibu memebli sayur ke warung depan. Kita lihat begitu besar dampaknya pacara, menguras tenaga, mengorbankan perasaan, bahkan sampai durhaka pada orang tua.  

Bagaimanapun juga, semua ada saatnya. Sebagaimana yang sering disebutkan para guru, cinta pada lawan jenis itu wajar, kalau sama sesame jenis baru gak wajar. Kalau saatnya sudah tiba, secara lahir dan batin kita sudah siap berkomitmen dengan si dia, malah islam mengharuskan para pemudanya untuk bersegera melangsungkan akad nikah. Sudah saatnya para pemuda menghayati cinta antara Fathimah r.a dengan Ali bin Abi Thalib yang sampai setasn pun dikisahkan tidak mengetahui cinta antara mereka berdua saking menjaga persaan masing-masing. Pada akhirnya, mereka berdua melangsungkan pernikahan yang sederhana, namun menjadi sebuah keluarga yang begitu bahagia. Semua hanya satu soal, yaitu mencoba menjaga pandangan dan persaan sebagaimana doa Ali bin abi Thalib pada saat masih muda

Yaa Allah kau tahu hati ini terikat suka akan indahnya seorang insan ciptaan-Mu.
Tapi aku takut, cinta yang belum waktunya menjadi penghalang ku mencium surga- Mu.
Berikan aku kekuatan menjaga cinta ini, sampai tiba waktunya,
andaikan engkau pun mempertemukan aku dengannya kelak.
Berikan aku kekuatan melupakannya sejenak.
Bukan karena aku tak mencintainya
Justru karena aku sangat mencintainya
               
  
         Pemuda-pemudi memiliki banyak sekali kelebihan, penulis sangat percaya akan hal itu. kelebihan-kelebihan itu justru ada untuk dikembangakan, bukan untuk dibuat tumpul dengan cinta-cintaan yang hanya menghabiskan perasaan. Terlebih jika kelebihan-kelebihan tersebut diiringi dengan ketaatan pada Allah dan perintahNya, tentu kebaikan-kebaikan yang menggunung tersebut akan menjadi lebih berkah. Dan apakah ada yang akan menghalangi sebuah keberkahan jika allah sudah meridahinya?






Minggu, 21 September 2014

Penghayatan Terhadap Nilai - Nilai Sejarah



                Sudah menjadi rahasia umum bahwa degredasi moral menjadi salah satu momok penyakit mental yang sedang gencar-gencarnya menimpa para pemuda bangsa Indonesia. Meningkatnya angka aborsi di kalangan remaja putri, westernisasi yang diagung-agungkan, sampai gaya hidup yang bertolak belakang dengan rasa tradisi bangsa Indonesia menjadi berhala-berhala kecil di tengah masa-masa pencarian diri dan pembuktian pada sesama di kalangan pemuda khususnya remaja yang baru menjejak masa-masa awal kedewasaan.
                Sebagai salah satu media sosialisasi, sekolah sebagai tempat para pemuda meluangkan waktu sehari-harinya di sana memiliki tanggung jawab moral untuk mendidik mental para pemuda tersebut, sekaligus mewariskan nilai-nilai dan norma sosial yang telah dirumuskan oleh para pendahulu bangsa. Adalah sebuah harga mati untuk menjadikan para pemuda bangsa memiliki semangat serta rasa nasionalisme yang tinggi hingga dapat menjadi benteng-benteng pertahanan juga penerus tongkat estafet yang mumpuni, sehingga penjajahan di atas bumi Indonesia dapat dihapuskan secara paripurna hingga ke setiap sendi-sendi kehidupan bangsa.
                Semangat cinta kepada tanah air ini tidak mungkin dapat diwariskan secara instan sehingga tercipta insan yang siap membela negara dengan segenap tumpah-darahnya begitu saja. Untuk dapat mencintai bangsanya, seorang pemuda tentu harus mengenal bangsanya terlebih dahulu. Pengenalan kepada bangsa memiliki makna yang amat luas, termasuk di dalamnya sejarah berdirinya bangsa tersebut atau pun nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para pelopor bangsa.  Nilai-nilai tersebut tentu dapat diberikan di sekolah, terlebih pada pelajaran sejarah dimana perjuangan bangsa menjadi materi-materi yang wajib untuk dipelajari di kelas. Namun, kecintaan seseorang kepada bangsanya tidak hanya dapat ditunjukkan dengan grafik-grafik nilai semata. Nilai-nilai LKS yang lebih tinggi tidak dapat menjamin seseorang lebih siap membela bangsanya dibandingkan dengan nilai-nilai yan lebih rendah.
                Dikarenakan hal tersebut, adalah menjadi salah satu hal yang fundamental penanaman rasa cinta kepada tanah air ini. Ketika seorang pemuda dapat menghayati perjuangan Pangeran Diponegoro ataupun Tuanku Imam Bonjol pada perang-perang yang berlangsung melawan kolonial Belanda, ataupun penderitaan para pekerja romusha untuk pemerintah Jepang sudah barang tentu dalam kehidupan sehari-harinya pun ia akan menghargai tiap embusan kemerdekaan yang ia nikmati sekarang. Ketika seorang pemuda menghayati perjuangan para pendahulu bangsa di meja diplomasi, menjadi salah satu negara pencetus Gerakan Non Blok, sudah barang tentu ia tak akan malu mengenakan identitas-identitas yang mencirikan kebudayaan Indonesia. Ketika seorang pemuda menghayati perjuangan Wage Rudolf Supratman, yang bahkan pada saat pertama kali diperdengarkan lagu Indonesia Raya hanya dapat dengan media biola, maka tak ada batang kepala para pemuda yang berani tidak menunduk ketika mendengar lagu Indonesia Raya dilantunkan.
                Dengan mengenal Indonesia secara lebih dekat, akan terbentuk hubungan emosional yang lebih erat dengan bangsa dan para pendahulunya. Hal ini menjadi benteng yang paling mendasar dalam menghadapi arus globalisasi dimana penyeleksian budaya-budaya asing lebih ditekankan kepada individu-individu sendiri. Cara pengajaran yang lebih medominasikan pada hafalan tanggal-tanggal ataupun teks pada buku-buku paket saja tidak lagi relevan dalam menghadapi tantangan zaman saat ini. Tentu, memdapatkan nilai-nilai yang sesuai dengan tuntutan sekolah atau penyelesaian materi-materi yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan itu penting, namun diatas itu semua penghayatan terhadap nilai-nilai sejarah kepada para pemuda jauh lebih penting, mengingat para pemudalah yang kelak akan menjadi pancang-pancang kesejahteraan dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.       

Minggu, 07 September 2014

Mudik : Perjalanan Panjang Kaum Urban Indonesia

Kecelakaan yang marak terjadi. sumber: dokumen pribadi

truk yang nyungsep ke dalam hutan


Walaupun sudah berlalu agak lama momeni ni, tetapi penulis tetap tergelitik untuk menuliskan dan membagi pikiran-pikiran penulis pada khayalak semua. Karena mudik adalah salh satu momen penting, yang ditunggu sejuta umat di Indonesia.

Mudik, adalah budaya yang mengakar pada muslim Indonesia, dimana mereka yang merantau jauh dari tanah kelahiran pulang untuk sungkem setiap Hari Raya Lebaran. Momen ini juga di tunggu oleh anak-anak yang sudah kengen dengan saudara-saudara jauhnya ataupun para orang tua yang sudah uzur untuk melihat buah hati dan cucu-cucu mereka berkumpul meramaikan rumah yang sepi sepanjang tahun. Tentu dengan bumbu-bumbu parahnya kepadatan lalu lintas dan meningkatnya jumlah kecelakaan di jalan secara drastis disbanding hari-hari biasa.

Sebagai salah satu momen yang menasional, sudah barang tentu momen mudik ini mennjadi salah satu wajah budaya di Indonesia, terlebih dengan meningkatnya angka para perantau yang mengadu nasib di Jakarta, terlepas dari berhasil atau tidaknya mereka menundukkan ‘kerasnya’ ibukota.
Sebagai salah seorang anak para perantau, saya mencoba menggali kelebihan dan kekurangan mudik ini lebih dalam. Pertama, kebanyakan penduduk Indonesia menganggap mudik sebagai penjalin tali silaturahim antara keluarga, kerabat, atau saudara-saudara dekat. Hal ini bisa kita lihat di banyak daerah ketika usai shalat Ied bersama dilakukan kegiatan keliling kampung guna mengunjungi tetangga-tetangga lama atau sanak kerabat yang dekat. Setelah 2 atau 3 hari setelah lebaran, para pemudik sering kali berkeliling ke kampung-kampung yang lebih jauh untuk mengunjungi kerabat-kerabat atau para sesepuh  yang telah uzur. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa hal ini tidak dilakukan di lain waktu? Bukankah sudah menjadi kewajiban dalam agama untuk menyambung  tali silaturahim?

Momen yang tepat, begitu jawab beberapa orang. Beberapa mengatakan mereka tak punya waktu lain, selain pada saat lebaran tersebut. namun sungguh sesuatu yang naif ketika mereka yang mengaku sibuk masih bisa meluangkan waktu untuk piknik bersama kantor, bermain outdoor, atau reuni-reuni kawan sealmamater. Padahal sudah jelas bahwa yang paling di nanti oleh para orang tua bukanlah kiriman ptotngan gaji, tetapi kehadiran sang anak yang kini sudah pergi jauh. Mengapa tak meluangkan sehari atau dua hari dalam sebulan, dan hal ini pun bisa menjadi momen yang menyanengkan bagi para cucu untuk mengenal kakek dan neneknya? Alasan ini penulis anggap sebagai alas an yang kurang logis.

Selain alasan diatas ada lagi alasan yang lebih klise. Uang. Kekurangan uang untuk mudik, sehingga harus  menunggusetahun atau bahkan 2 tahun untuk pulang kampung. Biaya yang banyak untuk modal transport berikut oleh - oleh untuk tetangga di rumah menjadi alasan yang tak kalah penting. Dalam hal ini saya sendiri menjadi berpikir. Di tengah derasnya arus urbanisasi, mereka memilih untuk tinggal di kota dibanding tinggal di kampung halaman. Lapangan kerja makin sempit, teriak mereka. Uang saja masih pas-pasan untuk hidup, apalagi buat pulang kampung sering-sering, keluh yang lain. Memang telah menjadi fakta di dalam pernak-pernik problema Indonesia tentang tingginya arus pindah “para perantau’ yang berbanding lurus dengan meneyempitnya lapangan kerja di kota.menyelesaikan masalah ketimpangan kepadatan penduduk ini sudah barang tentu menjadi tugas para pejabat kita yang terhormat unutk mengmbil kebijkan-kebijakan yang bermutu. Jika hal ini bisa diatasi, rasanya bukan lagi menjadi mimpi melihat jalanan antar provinsi yang lancar setiap tahun.

Apapun yang terjadi, baik di lingkup masyarakat urban maupun para birokrasi di tempat masing-masing, perantau adalah perantau. Mereka memilih  yang untuk mengadukan peruntungan harus bersiap juga mengahdapi kenyataan, walaupun harus ditebus dengan tak berpulang-pulang berbulan-bulan ke kampung tercinta. Sehingga mudik, dianggap momen sakral bagi para kaum urban untuk melepas penat sejenak dari kerja keras kehidupan di kota, menuju pelukan kedua orang tua yang damai nan menentramkan. Penulis hanya membayangkan, jika mudik yang bahkan sudah dianggap budaya bagi sebagian orang ini dihilangkan, turut menghilang juga angka-angka kecelakaan yang fantastis, tingginya volume kendaraan tiap tahun, juga anggaran perbaikan jalan yang rutin digelontorkan pemerintah untuk membenahi jalan. Mungkinkah?