Sudah menjadi
rahasia umum bahwa degredasi moral menjadi salah satu momok penyakit mental
yang sedang gencar-gencarnya menimpa para pemuda bangsa Indonesia. Meningkatnya
angka aborsi di kalangan remaja putri, westernisasi yang diagung-agungkan,
sampai gaya hidup yang bertolak belakang dengan rasa tradisi bangsa Indonesia menjadi
berhala-berhala kecil di tengah masa-masa pencarian diri dan pembuktian pada sesama
di kalangan pemuda khususnya remaja yang baru menjejak masa-masa awal
kedewasaan.
Sebagai
salah satu media sosialisasi, sekolah sebagai tempat para pemuda meluangkan
waktu sehari-harinya di sana memiliki tanggung jawab moral untuk mendidik
mental para pemuda tersebut, sekaligus mewariskan nilai-nilai dan norma sosial
yang telah dirumuskan oleh para pendahulu bangsa. Adalah sebuah harga mati untuk
menjadikan para pemuda bangsa memiliki semangat serta rasa nasionalisme yang
tinggi hingga dapat menjadi benteng-benteng pertahanan juga penerus tongkat
estafet yang mumpuni, sehingga penjajahan di atas bumi Indonesia dapat
dihapuskan secara paripurna hingga ke setiap sendi-sendi kehidupan bangsa.
Semangat
cinta kepada tanah air ini tidak mungkin dapat diwariskan secara instan sehingga
tercipta insan yang siap membela negara dengan segenap tumpah-darahnya begitu
saja. Untuk dapat mencintai bangsanya, seorang pemuda tentu harus mengenal
bangsanya terlebih dahulu. Pengenalan kepada bangsa memiliki makna yang amat
luas, termasuk di dalamnya sejarah berdirinya bangsa tersebut atau pun
nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para pelopor bangsa. Nilai-nilai tersebut tentu dapat diberikan di
sekolah, terlebih pada pelajaran sejarah dimana perjuangan bangsa menjadi
materi-materi yang wajib untuk dipelajari di kelas. Namun, kecintaan seseorang
kepada bangsanya tidak hanya dapat ditunjukkan dengan grafik-grafik nilai
semata. Nilai-nilai LKS yang lebih tinggi tidak dapat menjamin seseorang lebih
siap membela bangsanya dibandingkan dengan nilai-nilai yan lebih rendah.
Dikarenakan
hal tersebut, adalah menjadi salah satu hal yang fundamental penanaman rasa
cinta kepada tanah air ini. Ketika seorang pemuda dapat menghayati perjuangan
Pangeran Diponegoro ataupun Tuanku Imam Bonjol pada perang-perang yang
berlangsung melawan kolonial Belanda, ataupun penderitaan para pekerja romusha
untuk pemerintah Jepang sudah barang tentu dalam kehidupan sehari-harinya pun
ia akan menghargai tiap embusan kemerdekaan yang ia nikmati sekarang. Ketika seorang
pemuda menghayati perjuangan para pendahulu bangsa di meja diplomasi, menjadi
salah satu negara pencetus Gerakan Non Blok, sudah barang tentu ia tak akan
malu mengenakan identitas-identitas yang mencirikan kebudayaan Indonesia.
Ketika seorang pemuda menghayati perjuangan Wage Rudolf Supratman, yang bahkan
pada saat pertama kali diperdengarkan lagu Indonesia Raya hanya dapat dengan
media biola, maka tak ada batang kepala para pemuda yang berani tidak menunduk
ketika mendengar lagu Indonesia Raya dilantunkan.
Dengan mengenal
Indonesia secara lebih dekat, akan terbentuk hubungan emosional yang lebih erat
dengan bangsa dan para pendahulunya. Hal ini menjadi benteng yang paling
mendasar dalam menghadapi arus globalisasi dimana penyeleksian budaya-budaya
asing lebih ditekankan kepada individu-individu sendiri. Cara pengajaran yang
lebih medominasikan pada hafalan tanggal-tanggal ataupun teks pada buku-buku
paket saja tidak lagi relevan dalam menghadapi tantangan zaman saat ini. Tentu,
memdapatkan nilai-nilai yang sesuai dengan tuntutan sekolah atau penyelesaian
materi-materi yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan itu penting, namun
diatas itu semua penghayatan terhadap nilai-nilai sejarah kepada para pemuda
jauh lebih penting, mengingat para pemudalah yang kelak akan menjadi
pancang-pancang kesejahteraan dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar