Selasa, 01 September 2015

Mari Tabah bersama Bangsa yang Tabah

Bangsa ini adalah bangsa yang hidup di tengah kegemilangan dan berkelimpahan harta dan sumber daya. Bangsa ini adalah bangsa yang berdirinya menghentikan angin yang bertiup, melalui lingkaran - lingkaran api serta gempa yang menanti. Bangsa ini adalah bangsa yang tabah dengan segala kondisi serta wabah yang ditangisi di bangsa lain.

Bangsa ini adalah bangsa yang tabah, karena itulah selalu berdiam diri dengan segala hal yang bersangkut paut dengan dirinya. Bangsa ini adalah bangsa yang tabah, karena itu merasa cukup menghayati peran pahlawan di ruang kelas sejarah. Bangsa ini adalah bangsa yang tabah, dengan itu cukuplah mengheningkan cipta kala setiap apel atau upacara.Tak perlu ada aksi, tak perlu ada orasi. Tak perlu ada respon berlebihan yang menganggu stabilitas keamanan negeri ini.  Betapa tabahnya kita, benar ?

Namun bangsa yang tabah hanya mengerti diam dan menahan diri.Bangsa yang tabah hanya akan mencari pembenaran dari setiap keadaan. Bangsa yang tabah hanya mengenal empati bukan simpati. Bangsa yang tabah memilih bersidekap daripada bersikap, apalagi bertindak.

Memang mungkin sedari awal kita bangsa yang tabah. Melihat naiknya kurs dolar, impor segala macam barang, tak ada perubahan yang bisa dibilang berarti, apalagi demonstrasi. Memang sudah selayaknya bangsa yang sudah berumur untuk terus tabah, bahkan menghadapi kemelut dan mendung yang makin membayang.


Karena itu, mari kita lalui tahun-tahun berikutnya dengan tabah.

Selasa, 05 Mei 2015

Mati Muda




Kematian kerap manjadi momok yang ditakuti oleh banyak kalangan, bahkan yang sudah uzur sekalipun. Saking ditakutinya maka dibuatlah cerita-cerita dimana kematian selalu diiringi dengan kesedihan yang mendalam, ketakutan yang mencekam, atau suatu kengerian yang kerap kita lihat di layar-layar bioskop ataupun cerita-cerita yang kita dengar dari orang lain. Karena itu pula, ‘sesuatu’ yang eksis dalam setelah kematian dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan pula.

Kematian memang suatu batas akhir yang pasti bagi setiap kehidupan yang ada. Kerananya banyak kalangan yang takut akan hal ini, karena menganggap kehidupan yang dimiliki sekarang ini begitu indah bagi mereka. Atau mungkin mereka memiliki ketakutan tersendiri akan sesuatu ‘yang terjadi’ setelah mereka melewati batas hidup-mati tersebut. Perilaku seperti ini kerap dipedengarkan oleh Al-Quran sebagai perilaku orang-orang kafir yang takut akan kehilangan apa-apa yang mereka telah usahakan.


atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat. Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut mati. Dan Allah meliputi orang-orang kafir" ( Al Baqarah ayat 19 )

Padahalnya kematian adalah hal yang pasti akan datang dan mungkin satu-satunya hal yang dapat dipastikan dari masa depan. Semua yang ada di depan kita adalah misteri, bahkas saya sendiri tak mnegetahui, pada saat artikel ini dibuat, apakah setiap ketikan pada keyboard akan terlaksana sebagaimana yang saya inginkan. Apakah pada hari esoknya saya mengalami sesuatu, jam berikutnya seseorang pergi meninggalkan saya, atau pada detik berikutnya sayalah yang menghembuskan nafas terakhir.

Memersiapkan kematian adalah sebuah langkah untuk lebih mengenal diri dan sebuah usaha untuk menjadikan diri lebih berharga. Seorang syekh dari Palestina, negeri yang sedang terjajah, manyatakan bahwa bahkan pada tataran anak-anaknya sendiri sudah dipersiapkan untuk menghadapi maut atau bahkan mencitai kematian itu sendiri. Kuncinya ? “mereka selalu melakukan hal-hal yang baik setiap hari, mulai dari menjaga akhlaq, ghadul bashar (menjaga pandangan), hifzhil lisaan (menjaga lisan), birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua,….” , Papar Syekh tersebut. saking banyaknya kebaikan yang dikatakan oleh syekh, penulis tidak bisa mengikuti sampai akhir. Karena kekurangan kita, yakni dalam beramal baik, yang menjadikan kita takut akan kematian.   


Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya. (Al-Baqarah : 95)

Ketika kita sudah siap bahkan mencintai kematian maka Allahlah tempat kita memuarakan segala macam rasa ketakutan. Dalam diri kita sudah terbentuk kebulatan tekad untuk terus beramal baik hingga kematian yang selama ini menajdi momok bisa kita singkirkan. Maka makin rindu pula kita unutk bertemu dengan satu-satunya Zat yang kita takuti dan kita cintai.  Karena itu,  Mati muda bukanlah menyia-nyiakan usia, namun mati muda sepantasnnya menjadi suatu impian bagi mereka yang memiliki prinsip unutk dipegang teguh.

Semoga yang kita raih nanti adalah kematian yang khusnul khatimah.

Minggu, 30 November 2014

Al Barra Bin Malik, Kesatria Pilihan Rasulullah

 Ia seorang yang hitam, pendek, rambutnya ikal. Bahkan tak terdengar catatan kehidupannya sedikit pun sebelum islam datang ke Madinah. Di balik penglihatan orang-orang yang memandangnya sebelah mata, ia memiliki keberanian yang sangat tinggi, melebihi kaum anshar pada umumnya. Sikapnya terlihat jelas ketika Baiat Aqabah, dimana ia langsung memacu kudanya begitu medengar dakwah Nabi Muhamad SAW, mendengarkan perkataan Rasulullah SAW, lantas memegang tangan beliau dan membaiatnya tanpa memepertanyakan lagi, berbeda dengan sikap Abu al-Haitsam bin Nabhan ataupun dari sahabat Anshar yang lain. Tak heran Rasulullah SAW bersabda,” Betapa banyak orang hina yang lemah serta lusuh dan tidak dianggap, seandainya ia bersumpah dengan nama Allah, niscaya Allah akan mewujudkan sumpahnya, diantara mereka adalah al-Barra bin Malik” ( hadits riwayat Bukhari)
                
 Keinginannya unutk mati sebagai seorang syuhada amatlah tinggi, ini dibuktikan dengan keberaniannya di kancah pertempuran Uhud dimana ia berhasil membunuh banyak sekali musyrikin, bagaikan pedang yang di arahkan ke berbagai penjuru. Keberaniannya tidak dapat diragukan, bahkan ketika masa setelah wafatnya Nabi SAW Umar bin Khattab pernah mewasiatkan supaya tidak menjadikan Al-Barra sebagai seorang komandan atau pemimpin pasukan, karena keberaniannya dinilai terlalu besar sehingga ditakutkan membawa bencana bagi pasukan.
                
 Salah satu perang yang diikutinya adalah perang melawan Musailamah Al-Kadzab yang mengaku sebagai nabi. Kaum muslimin dipimpin oleh Khalid bin Walid Sang Pedang Allah, bergerak ke Yamamah dan bertemu dengan pasukan musuh. Peperangan berkecamuk dengan sangat seru, namun lama kelamaan kelompok murtad tampak lebih umggul. Melihat hal itu Tsabit bin Qais dan Zaid bin Khattab merangsek maju, menyeru pada kaum muslimin unutk maju. Maka mereka berdua menyabetkan pedang ke segala penjuru, menghancurkan barisan musuh sampai mati syahid. Setelah sayhidnya mereka berdua maka Al-Barra tampil di depan, lantas kembali menyeru kaum muslimin uutk maju. Maka pasukan muslimin berhasil mendesak lawan hingga masuk ke benteng pertahanan. Al-Barra pun berkata, “ Wahai Kaum muslimin, lemparkanlah aku dengan ke benteng itu sehingga aku bisa membukanya dari dalam!” namun Khalid bin Walid tidak mengidahkan usul tersebut karena sangat berbahaya.
                
 Maka pada saat malam hari, Al-Barra diam-diam memanjat dinding lantas bertakbir dari atas benteng dan melompat menuju gerbang benteng. Tak peduli dengan sayatan pedang atau tusukan anak panah, ia membuka gerbang benteng dari dalam, sehingga pasukan muslim dapat menerobos ke dalam. Namun, Al-Barra belum mendapatkan syahid yang ia rindukan. Ia ditemukan terbujur sekarat di samping pintu gerbang . para muslimin segera membawanya ke tenda pengobatan. Pada masa pengobatan ia menangis setiap hari, karena belum mendapatkan syahid yang diinginkan. Khalid bin Walid menghiburnya dengan mengingatkan ia masih mempunyai kesempatan untuk syahid di peperangan di negeri Persia.
                 
 Ia mengikuti peperangan berikutnya melawan Persia di Qadisiyah dan yang lain. Pada suatu operasi pengepungan benteng,kedua  tangannya melepuh terkena karena menggenggam besi panas pada saat menyelamatkan nyawa saudaranya yang terkena jebakan musuh. Disana ia sempat membatin, “ Ya Allah, mengapa aku belum juga syahid?” akhirnya do’a beliau dijawab pada saat pertempuran di Ahwaz dan Tatsur. Pada medan Ahwaz ia berhasil membunuh sekitar seratus orang musuh dalam duel, hingga pasukan muslim memperoleh kemenangan disana. Namun pada di perbatasan Tatsur, musuh melakukan penyerangan sebanyak 80 kali, dimana pada penyerangan terakhir yang paling hebat, kaum muslimin berkata pada Al-Barra,
                
 “ Hai Barra, sesungguhnya RAsulullah saw. Telah bersabda kepadamu,’Jika kamu bersumpah atas nama Allah, pasti Allah akan mengabulkannya.’ Bersumpahlah atas nama Allah untuk kita!”
                
 Al-Barra berkata, “ Aku bersumpah kepada-Mu wahai Tuhan, berikan bahu-bahu musuh pada kami.” Maka pasukan musuh berhasil didesak hingga melewati jembatan Sus.
                 
Kaum muslimin kembali berkata, “ Barra bersumpah kepada Allah untuk kita.”
                 
Al-Barra berkata,” Aku bersumpah kepada-Mu wahai Tuhan, berikan bahu-bahu mereka kepada kami dan pertemukan aku dengan Nabi-Mu saw.” Maka  musuh berhasil ditumpas dan Al-Barra mati syahid.
                 
Itulah sekelumit kisah hidup salah seorang pejuang yang dibimbing disamping Nabi saw., menegakkan islam dan menggadaikan nyawanya di jalan Allah. Keberaniannya patut diteladani, bagi sebagian dari kita yang mungkin merasa ragu atau takut untuk meneggakan Kalimat Allah dengan jalan yang dapat kita lakukan.  Al-Barra telah membuktikan bahwa kemuliaan hanya dapat dicapai dengan perjuangan dan keberanian, dan perjuangannya telah terbalas dengan hadiah syahid di Jalan Allah.

Umairah, Abdurrahman, THE GREAT KNIGHT Kesatria di sekitar Rasulullah, Jakarta : Embun Publishing, 2006
     

Sedikit Tulisan Tentang Chairil Anwar



Sedari di tingkat sekolah dasar mungkin masing-masing dari kita sudah diperkenalkan dengan penyair ini. Beliau adalah Chairil Anwar, yang terkenal dengan puisisinya yang berjudul ‘Aku’ atau ‘Semangat’. Ia dikenal sebagai pelopor angkatan ’45 dengan puisi-puisinya yang bernafaskan angin baru, dimana dianggap memberontak bentuk-bentuk sajak umumnya pada masa itu .

Sebagai seseorang yang mati muda, pada usia 27 tahun, Chairil Anwar sudah membuktikan bahwa umur seseorang bukanlah batasan dalam menghasilkan suatu karya. Terbukti karya-karyanya banyak yang mempengaruhi penyair-penyair berikutnya, dan dianggap sebagai salah satu peletak dasar kesusastraan di Indonesia. banyak orang yang mengakui tingkat kejeniusannya dalam mengolah kata, sehingga walaupun kita menyaksikan bahwa puisi-puisinya adalah sebuah masa lalu, tapi bisa menjadi sebuah masa depan dengan kreativitas tanpa batasnya dalam berkarya.

Walaupun karya-karya Chairil Anwar banyak yang dinilai individualistis seperti puisinya yang pertama-tama ‘Nisan’ atau ‘Kehidupan’ dan diakhir masa kehidupannya ‘Derai – Derai Cemara’ ia tidaklah menutup mata atas keadaan politik dan masyarakat yang berada di sekitar. Ia menulis sajak-sajak ‘Persetujuan dengan Bung Karno’ yang menggambarkan keadaan politik pada saat itu. Namun sayang karena apresiasi dari para elit politik sendiri tidaklah begitu bersimpatik kepadanya, namanya sempat timbul-tenggelam dan menjadi permainan dalam menguatkan arah politik masing-masing. Saya kira memandang sebelah mata atas karyanya, sebagai seorang yang sudah memeprjuangkan prisisp hidup dan ‘memberontak’ dengan nafas baru dalam gaya-gaya persajakan, karena kepentingan ‘perut dan golongan’ belaka adalah suatu penghinaan.

Salah satu hal yang patut diteladani bagi kita sebagai generasi muda adalah ketotalannya dalam berkesenian dalam sastra, yang sudah ia mulai sejak umur 15 tahun. Hal ini juga ditambah dengan penguasaannya terhadap bahasa Jerman, Belanda, dan Inggris dengan baik walaupun pendidikan terakhirnya setingakat sekolah menengah atas. Masa hidupnya memang singkat, namun ia berhasil membuktikan kata-katanya pada sang ibu bahwa jika ia mati muda, biarlah anak-anak sekolah dasar menaburkan karangan bunga di makamnya nanti. Dan waktu membuktikan, bahwa kesungguhannya terbayar lunas. Bahkan bukan hanya pada anak-anak sekolah dasar, namun semangatnya terus mengalir dalam diri bangsa Indonesia selama bangsa ini tetap menghargai identitas dirinya sendiri.

Sumber :
Eneste, Panusuk (editor), AKU INI BINTANG JALANG : Koleksi Sajak 1942-1949 Chairil Anwar,     Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,  2011

Sapardi Djoko Damono, “CHAIRIL ANWAR KITA”, Eneste, Panusuk (editor), AKU INI BINTANG     JALANG : Koleksi Sajak 1942-1949 Chairil Anwar, Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,  2011

Agni, Binar S.Si, SASTRA INDONESIA LENGKAP, Jakarta : PT BUKU KITA, 2008

Minggu, 19 Oktober 2014

Hijab


Sudah menjadi hal yang diketahui secara umum bagi umat muslim secara umumnya, bahwa islam memiliki aturan-aturan dan batasan-batasan mengenai interaksi antara wanita dan pria. Hal ini disyariatkan tak kurang supaya terjadi keselarasan dalam umat itu sendiri. Ketika suatu umat memegang teguh syariat islam dalam perilaku bermasyarakatnya pada tiap aktivitas keseharian, keselamatan dan keberkahan akan datang kepada kaum tersebut, sedang ketika suatu kaum menistakan syariat islam dalam tingkah laku kesehariannya maka tunggulah kehancurannya. Nabi SAW saudah bersabda “ barang siapa yang memegang teguh 2 hal ini maka ia akan selamat, Kitab Allah dan Sunnah”
                Segala puji bagi Allah SWT yang telah mengaruniakan kita, para civitas academica, mengenai pemahaman pentingnya menjaga syariat islam, khususnya mengenai batasan antara wanita dan pria, sehingga dapat diimplementasikan dalam pendidikan siswa-siswi MAN Insan Cendekia Serpong. Hal mengenai batasan interaksi antara lawan jenis ini, yang sering kali disebut sebagai Hijab, sudah ditanamkan sejak para siswa memulai aktivitas pertamanya sebagai seorang siswa Insan Cendekia pada kegiatan Pekan Taaruf Siswa. Pada acara yang kerap disingkat PTS ini ditanamkan niai-nilai mengenai pentingnya menjaga interaksi antara para siswa dan siswi. Hal ini juga dipertegas dengan sangsi yang berat dari Bidang Kedisiplinan Sekolah mengenai pelanggaran terkait hijab, yakni DO atau drop out. Penulis sendiri merasakan betapa para kakak panitia PTS khususnya PTS Al-Furqon yang diikuti penulis menekankan perihal hijab tersebut.
                Namun, keistiqomahan dalam melaksanakan hal-hal yang sudah di pelajari pasti akan terus diuji, seiring dengan berjalannya waktu. Tekanan yang sudah tidak ada dari panitia PTS pada kegiatan belajar mengajar, ataupun interaksi yang makin intens antara siswa yang berlawanan jenis baik di kelas, sekolah, mau pun di organisasi menjadi tantangan tersendiri dalam menjaga nilai-nilai yang sudah diberikan. Hal ini dibuktikan dengan adanya sangsi DO yang mengenai beberapa murid pada angkatan terdahulu. Sehingga, menjaga nilai-nilai kehijaban dari hal-hal yang sering dianggap remeh seperti ghadul bashar ataupun menjaga jarak antara siswa dan siswi amat diperlukan.
                Karena hal tersebut, maka penulis mengajak para siwa-siswi, guru, dan semua perangkat MAN Insan Cendekia khususnya angkatan Eisthera Gritanefic untuk terus menjaga nilai-nilai mengenai hijab tersebut. istiqamah dalam menjalankan kewajiban memang bukanlah perkara yang mudah, hingga Allah pun paling menyukai amalan yang dilakukan secara istiqamah. Penulis meyakini, jika seluruh  siswa, guru, staf serta karyawan turut menjaga nilai-nilai tersebut bukanlah tidak mungkin jika pada waktu-wakti kedepannya tidak ada lagi siswa maupun siswi yang dikeluarkan karena permasalahan ini, bahkan madrasah yang kita cintai ini akan semakin berkah dan lebih mudah menggapai berbagai prestasi karena telah berusaha istiqamah dalam manjalankan hal-hal yang telah disyaiatkan olehNya.  

Sabtu, 27 September 2014

Islam dan Pacaran



                Sudah kerap kita dengar tetang buruknya generasi muda saat ini. Mulai dari degredasi moral sampai pada taraf gaya hidup yang hedonis banyak dijadikan bahan tugasi tulis-menulis oleh para siswa. Padahalnya banyak sekali kelebihan-kelebihan dari generasi muda saat ini. Seperti dalam bidang olipiade, Indonesia masih sering medapatkan medali-medali dan penghargaan. Sebutlah IGEO, dimana salah seorang siswi MAN Insan Cendekia madapatkan medali perunggu atas nama Uyun Charisa Azisa. Atau lomba-lomba bertaraf internasional lainnya, dimana Indonesia masih dapat mengirimkan wakilnya. Masih banyak lagi kelebihan-kelebihan generasi muda yang tidak terekspos, atau bahkan terekspos namun kurang mendapat perhatian. Salah satunya adalah kreativitas para anak muda, terlebih dalam membuat kalimat-kalimat yang menggugah, seperti  sebagai berikut

“Truk aja punya gandengan, masa lu kagak.”

Atau yang lebih ilmiah sedikit

“Xylem aja  pasangan-pasangan sama floem, masa lu kagak punya pasangan.”

Memang sudah menjadi fenomena yang ‘dibiasakan’ dimana pacaran menjadi salah satu tolak ukur dalam kehidupan sosial pada umumnya. Banyak sekali alasan yang disampaikan, argumen yang diberikan. Namun jika kita lihat lebih dekat apakah pacaran itu baik?
                        Dalam Islam, kita mengenal adanya batasan-batasan antar lawan jenis. Seperti ghadul bashar.  Allah SWT telah berfirman pada surat An-Nur ayat 30 :
  
 قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
                
Apakah hanya laki-laki saja yang harus menjaga pandangan? Pada surat Ash-Shafat ayat 48 Allah pun turut berfirman :
وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ عِينٌ

Artinya : “Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya.”
                 
Disini kita dapat membuat kesimpulan, jika ingin menjadi laki-laki yang baik atau perempuan-perempuan bertaraf bidadari surga dengan standar Al-Qur’an, sudah saatnya mulai kita menjaga pandangan. Mengapa pandangan yang penting? Karena sesuai kata-kata yang sudah populer ‘Darimata turun ke hati’. Dari hati nantisaling jatuh hati. Kalau udah jatuh hati nanti malah main hati. Waduh, bahaya kan? Tetapi memang sudah menjadi fakta ketika suatu hubungan tidak disertai komitmen yang jelas pasti akan mudah untuk kandas  di tengah jalan.

Selain itu, secara logika pun pacaran amat merugikan para pemuda-pemudi yang sudah disibukkan kegiatan sehari-hari. Sebutlah Bang Joko, sudah lelah sehabis kerja part-time di salah satu pom bensin masih harus mengatar pacarnya ke salon terdekat. Atau Amat, sudah lama-lama dimarahi guru karena lupa mengerjakan PR masih harus juga didamprat pacarnya yang kecapekan nungguin dia di tempat ketemuan. Juga Susilawati, terlalu asik smsan dengan sang kekasih, hingga enggan membantu ibu memebli sayur ke warung depan. Kita lihat begitu besar dampaknya pacara, menguras tenaga, mengorbankan perasaan, bahkan sampai durhaka pada orang tua.  

Bagaimanapun juga, semua ada saatnya. Sebagaimana yang sering disebutkan para guru, cinta pada lawan jenis itu wajar, kalau sama sesame jenis baru gak wajar. Kalau saatnya sudah tiba, secara lahir dan batin kita sudah siap berkomitmen dengan si dia, malah islam mengharuskan para pemudanya untuk bersegera melangsungkan akad nikah. Sudah saatnya para pemuda menghayati cinta antara Fathimah r.a dengan Ali bin Abi Thalib yang sampai setasn pun dikisahkan tidak mengetahui cinta antara mereka berdua saking menjaga persaan masing-masing. Pada akhirnya, mereka berdua melangsungkan pernikahan yang sederhana, namun menjadi sebuah keluarga yang begitu bahagia. Semua hanya satu soal, yaitu mencoba menjaga pandangan dan persaan sebagaimana doa Ali bin abi Thalib pada saat masih muda

Yaa Allah kau tahu hati ini terikat suka akan indahnya seorang insan ciptaan-Mu.
Tapi aku takut, cinta yang belum waktunya menjadi penghalang ku mencium surga- Mu.
Berikan aku kekuatan menjaga cinta ini, sampai tiba waktunya,
andaikan engkau pun mempertemukan aku dengannya kelak.
Berikan aku kekuatan melupakannya sejenak.
Bukan karena aku tak mencintainya
Justru karena aku sangat mencintainya
               
  
         Pemuda-pemudi memiliki banyak sekali kelebihan, penulis sangat percaya akan hal itu. kelebihan-kelebihan itu justru ada untuk dikembangakan, bukan untuk dibuat tumpul dengan cinta-cintaan yang hanya menghabiskan perasaan. Terlebih jika kelebihan-kelebihan tersebut diiringi dengan ketaatan pada Allah dan perintahNya, tentu kebaikan-kebaikan yang menggunung tersebut akan menjadi lebih berkah. Dan apakah ada yang akan menghalangi sebuah keberkahan jika allah sudah meridahinya?






Minggu, 21 September 2014

Penghayatan Terhadap Nilai - Nilai Sejarah



                Sudah menjadi rahasia umum bahwa degredasi moral menjadi salah satu momok penyakit mental yang sedang gencar-gencarnya menimpa para pemuda bangsa Indonesia. Meningkatnya angka aborsi di kalangan remaja putri, westernisasi yang diagung-agungkan, sampai gaya hidup yang bertolak belakang dengan rasa tradisi bangsa Indonesia menjadi berhala-berhala kecil di tengah masa-masa pencarian diri dan pembuktian pada sesama di kalangan pemuda khususnya remaja yang baru menjejak masa-masa awal kedewasaan.
                Sebagai salah satu media sosialisasi, sekolah sebagai tempat para pemuda meluangkan waktu sehari-harinya di sana memiliki tanggung jawab moral untuk mendidik mental para pemuda tersebut, sekaligus mewariskan nilai-nilai dan norma sosial yang telah dirumuskan oleh para pendahulu bangsa. Adalah sebuah harga mati untuk menjadikan para pemuda bangsa memiliki semangat serta rasa nasionalisme yang tinggi hingga dapat menjadi benteng-benteng pertahanan juga penerus tongkat estafet yang mumpuni, sehingga penjajahan di atas bumi Indonesia dapat dihapuskan secara paripurna hingga ke setiap sendi-sendi kehidupan bangsa.
                Semangat cinta kepada tanah air ini tidak mungkin dapat diwariskan secara instan sehingga tercipta insan yang siap membela negara dengan segenap tumpah-darahnya begitu saja. Untuk dapat mencintai bangsanya, seorang pemuda tentu harus mengenal bangsanya terlebih dahulu. Pengenalan kepada bangsa memiliki makna yang amat luas, termasuk di dalamnya sejarah berdirinya bangsa tersebut atau pun nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para pelopor bangsa.  Nilai-nilai tersebut tentu dapat diberikan di sekolah, terlebih pada pelajaran sejarah dimana perjuangan bangsa menjadi materi-materi yang wajib untuk dipelajari di kelas. Namun, kecintaan seseorang kepada bangsanya tidak hanya dapat ditunjukkan dengan grafik-grafik nilai semata. Nilai-nilai LKS yang lebih tinggi tidak dapat menjamin seseorang lebih siap membela bangsanya dibandingkan dengan nilai-nilai yan lebih rendah.
                Dikarenakan hal tersebut, adalah menjadi salah satu hal yang fundamental penanaman rasa cinta kepada tanah air ini. Ketika seorang pemuda dapat menghayati perjuangan Pangeran Diponegoro ataupun Tuanku Imam Bonjol pada perang-perang yang berlangsung melawan kolonial Belanda, ataupun penderitaan para pekerja romusha untuk pemerintah Jepang sudah barang tentu dalam kehidupan sehari-harinya pun ia akan menghargai tiap embusan kemerdekaan yang ia nikmati sekarang. Ketika seorang pemuda menghayati perjuangan para pendahulu bangsa di meja diplomasi, menjadi salah satu negara pencetus Gerakan Non Blok, sudah barang tentu ia tak akan malu mengenakan identitas-identitas yang mencirikan kebudayaan Indonesia. Ketika seorang pemuda menghayati perjuangan Wage Rudolf Supratman, yang bahkan pada saat pertama kali diperdengarkan lagu Indonesia Raya hanya dapat dengan media biola, maka tak ada batang kepala para pemuda yang berani tidak menunduk ketika mendengar lagu Indonesia Raya dilantunkan.
                Dengan mengenal Indonesia secara lebih dekat, akan terbentuk hubungan emosional yang lebih erat dengan bangsa dan para pendahulunya. Hal ini menjadi benteng yang paling mendasar dalam menghadapi arus globalisasi dimana penyeleksian budaya-budaya asing lebih ditekankan kepada individu-individu sendiri. Cara pengajaran yang lebih medominasikan pada hafalan tanggal-tanggal ataupun teks pada buku-buku paket saja tidak lagi relevan dalam menghadapi tantangan zaman saat ini. Tentu, memdapatkan nilai-nilai yang sesuai dengan tuntutan sekolah atau penyelesaian materi-materi yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan itu penting, namun diatas itu semua penghayatan terhadap nilai-nilai sejarah kepada para pemuda jauh lebih penting, mengingat para pemudalah yang kelak akan menjadi pancang-pancang kesejahteraan dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.