Sedari di tingkat
sekolah dasar mungkin masing-masing dari kita sudah diperkenalkan dengan
penyair ini. Beliau adalah Chairil Anwar, yang terkenal dengan puisisinya yang
berjudul ‘Aku’ atau ‘Semangat’. Ia dikenal sebagai pelopor angkatan ’45 dengan
puisi-puisinya yang bernafaskan angin baru, dimana dianggap memberontak
bentuk-bentuk sajak umumnya pada masa itu .
Sebagai seseorang yang
mati muda, pada usia 27 tahun, Chairil Anwar sudah membuktikan bahwa umur
seseorang bukanlah batasan dalam menghasilkan suatu karya. Terbukti
karya-karyanya banyak yang mempengaruhi penyair-penyair berikutnya, dan
dianggap sebagai salah satu peletak dasar kesusastraan di Indonesia. banyak
orang yang mengakui tingkat kejeniusannya dalam mengolah kata, sehingga walaupun
kita menyaksikan bahwa puisi-puisinya adalah sebuah masa lalu, tapi bisa
menjadi sebuah masa depan dengan kreativitas tanpa batasnya dalam berkarya.
Walaupun karya-karya
Chairil Anwar banyak yang dinilai individualistis seperti puisinya yang pertama-tama
‘Nisan’ atau ‘Kehidupan’ dan diakhir masa kehidupannya ‘Derai – Derai Cemara’
ia tidaklah menutup mata atas keadaan politik dan masyarakat yang berada di
sekitar. Ia menulis sajak-sajak ‘Persetujuan dengan Bung Karno’ yang
menggambarkan keadaan politik pada saat itu. Namun sayang karena apresiasi dari
para elit politik sendiri tidaklah begitu bersimpatik kepadanya, namanya sempat
timbul-tenggelam dan menjadi permainan dalam menguatkan arah politik
masing-masing. Saya kira memandang sebelah mata atas karyanya, sebagai seorang
yang sudah memeprjuangkan prisisp hidup dan ‘memberontak’ dengan nafas baru
dalam gaya-gaya persajakan, karena kepentingan ‘perut dan golongan’ belaka
adalah suatu penghinaan.
Salah satu hal yang
patut diteladani bagi kita sebagai generasi muda adalah ketotalannya dalam
berkesenian dalam sastra, yang sudah ia mulai sejak umur 15 tahun. Hal ini juga
ditambah dengan penguasaannya terhadap bahasa Jerman, Belanda, dan Inggris
dengan baik walaupun pendidikan terakhirnya setingakat sekolah menengah atas.
Masa hidupnya memang singkat, namun ia berhasil membuktikan kata-katanya pada
sang ibu bahwa jika ia mati muda, biarlah anak-anak sekolah dasar menaburkan
karangan bunga di makamnya nanti. Dan waktu membuktikan, bahwa kesungguhannya
terbayar lunas. Bahkan bukan hanya pada anak-anak sekolah dasar, namun
semangatnya terus mengalir dalam diri bangsa Indonesia selama bangsa ini tetap
menghargai identitas dirinya sendiri.
Sumber :
Eneste, Panusuk
(editor), AKU INI BINTANG JALANG :
Koleksi Sajak 1942-1949 Chairil Anwar, Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2011
Sapardi Djoko Damono,
“CHAIRIL ANWAR KITA”, Eneste, Panusuk (editor), AKU INI BINTANG JALANG : Koleksi
Sajak 1942-1949 Chairil Anwar, Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2011
Agni, Binar S.Si, SASTRA INDONESIA LENGKAP, Jakarta : PT
BUKU KITA, 2008
Tidak ada komentar :
Posting Komentar